Sunday, June 7, 2009


Kerusakan Hutan Gunung Muria



Gunung Muria merupakan salah satu pegunungan yang sudah tua di negeri ini. Kawasan gunung Muria sendiri secara geografis terletak di 3 (tiga) wilayah kabupaten, yaitu Jepara, Kudus dan Pati. Selain itu juga terletak di bagian utara pulau Jawa, Jepara dikenal dengan ukirannya yang khas, Kudus sendiri merupakan kota industri terutama rokok, dan Pati sendiri merupakan penghasil kayu jati yang berkualitas nomor wahid.

Pada zaman VOC dan pemerintahan Hindia – Belanda kawasan Jepara dan sekitarnya merupakan daerah strategis sebagai wilayah pengembangan kota-kota pelabuhan dengan tujuan ekspor ke Eropa. Kondisi yang demikian strategis tersebut berimbas pada upaya pengembangan kawasan gunung Muria bagi usaha perkebunan ( tebu, kopi, randu dan lain sebagainya ) termasuk kehutanan, khususnya jati untuk mendukung sektor ekspor andalan pemerintah Hindia Belanda.

Ada tiga hal yang menjadikan pengelolaan kawasan gunung Muria menjadi penting untuk dikaji, yaitu pertama, kawasan Muria ini merupakan penyangga bagi kehidupan sosial – ekonomi maupun ekologi yang sangat penting sebagai urat nadi kehidupan industri di kabupaten Jepara, Pati dan khususnya Kudus yang jelas-jelas nyata, dengan aktivitas masyarakatnya yang lebih padat dibanding Jepara dan Pati; kedua, kawasan ini menyimpan situs-situs bersejarah dari zaman kerajaan Hindu dan Islam sebagai asal-usul peradaban Jawa; ketiga, kawasan Muria memiliki letak yang strategis di tengah pulau Jawa terutama di jalur pantai utara yang menjadi pusat pengembangan industri. Hal inilah yang mungkin melatarbelakangi rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir ( PLTN ) di gunung Muria, dengan kemungkinan nilai keuntungan proyeknya yang cukup menggiurkan bagi beberapa pihak, selebihnya mungkin merugikan bagi banyak pihak termasuk kawasan Muria, dimana pengelolaan dan pelestarian hutannya yang tergolong lebih mudah saja merugi dan rusak apalagi PLTN, mau jadi apa kawasan Muria untuk ke depannya.

Selain tiga hal yang menjadikan pengelolaan kawasan gunung Muria menjadi penting untuk dikaji seperti uraian di atas, ada hal lainnya yang juga sama pentingnya dimana kawasan Muria juga berfungsi sebagai penyangga untuk kelangsungan hidup ekosistem beserta lingkungan yang ada di dalamnya. Kelangsungan hidup ekosistem yang berupa kekayaan alam baik flora maupun fauna di gunung Muria, 18 kilometer utara kota Kudus, sebenarnya cukup banyak dan bervariasi. Namun diduga aneka jenis kekayaan gunung setinggi 1.602 meter di atas permukaan laut itu terancam punah akibat aktivitas manusia yang mengeksploitasinya secara tidak bertanggung jawab.

Menurut tata guna lahannya, sebagian besar kawasan Muria merupakan kawasan lindung terutama sebagai daerah tangkapan air ( catchment area ). Kawasan lindung ini terdiri dari : lahan Negara, yaitu kawasan hutan lindung, cagar alam, sesuai dengan surat keputusan yang telah ditetapkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda nomor 34, tanggal 24 Juni 1916 di Bogor ( Jawa Barat ). Selain itu juga sebagai hutan produksi dan perkebunan. Kemudian lahan milik, yaitu sawah, ladang, tegal, kebun campur dan hutan rakyat.

Dengan demikian secara faktual kawasan ini dikelola oleh rakyat dan pemerintah lewat kepanjangan tangan BUMN ( Perhutani dan PTPRT IX ). Dampak dari proses pergantian kekuasaan pada tahun 1998 salah satunya inilah yang menjadi pemicu penjarahan hutan dan lahan sebagaimana lazimnya terjadi di daerah-daerah lain termasuk Muria.Hampir sebagian besar kawasan, baik produksi maupun lindung, dijarah dan dikonversi menjadi ladang jagung, tebu, dan ketela pohon. Di kawasan Muria bagian utara, konversi hutan menjadi kebun singkong, cukup merajalela.

Hal itu juga kemudian dibenarkan oleh hasil wawancara saya dengan seorang warga, dimana dia mengatakan bahwa saat ini kondisi gunung Muria memang sangat memprihatinkan, banyak pohon ditebang untuk dijual kayunya dan lahannya digunakan untuk berladang, bersawah dan berkebun pada saat musimnya, namun jika musimnya sudah habis, lahannya dibiarkan begitu saja. Tidak hanya itu saja, fauna yang termasuk langka dan dilindungi negara pun ikut diburu oleh warga sekitarnya, misalnya rusa.

Sekedar diketahui, kawasan pengunungan Muria yang masuk ke dalam wilayah Kudus itu adalah 2.377,57 hektar. Saat ini yang mengalami kerusakan luasnya mencapai angka kurang lebih 1.249 hektar.

Kerusakan hutan di kawasan Muria bukan hanya akibat dari penjarahan, penebangan, persawahan, perladangan liar dari beberapa warga yang tidak bertanggung jawab tetapi juga karena semakin banyaknya lahan yang digunakan untuk daerah permukiman. Selain itu juga penambangan liar oleh sebagian masyarakatnya, misalnya di desa Rahtawu, kecamatan Gebog dimana terdapat pengambilan batu-batu dari lereng gunungnya yang sudah dilakukan sejak lama sehingga menyebabkan rawan longsor dan pepohonan yang masih ada di atasnya juga akan habis ditambah lagi semakin menyempitnya bahkan terancam hilangnya habitat fauna-fauna yang ada di dalamnya. Padahal kawasan Rahtawu termasuk ruang lingkup hutan lindung di kawasan Muria.

Masyarakatpun tampaknya belum sadar dan perhatian terhadap hal ini, dan belum mau belajar dari pengalaman, begitu juga oleh pemerintah daerahnya yang juga kurang memperhatikan dan melakukan pengawasan penuh terhadap aktivitas warganya yang merusak lingkungan, padahal setiap tahunnya beberapa daerah di kabupaten Kudus mengalami banjir seperti di kecamatan Jekulo, Mejobo, dan Undaan pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau akibat kerusakan kawasan Muria.




2 comments:

  1. saya tambahi, muria terdapat v3 kebudayaan, islam, hindu dan budha.

    ReplyDelete
  2. mari kita lihat jalan raya mulai sekitar stadion joyokusumo s/d gembong. saat musim hujan air tak tersalur pada tempat yang benar, malah lewat jalan raya. dampak negatif dari situasi ini jelas ada, apalagi kalau terjadi di pagi hari saat kesibukan dimulai.
    artinya, air di wilayah ini telah bertambah debetnya sehingga berbagai saluran bahkan sungai tak lagi mampu menampung air yang tak meresap dan tak tertangkap oleh hutan dan tanah pada sisi muria sebelah selatan(pati misalnya), maka ini bisa di indikasikan bahwa hutan dan fungsinya telah berubah. dan ini bisa dibilang rusak.
    anehnya ini terjadi berkali-kali. menurut pembaca bagaimana perhatian pemerintah dan warga atas peristiwa ini?

    ReplyDelete