Sunday, August 23, 2009

Nasionalisme di Puncak Mahameru. .


Sabtu 16agustus09 jeep hardtop berhnti persis d depan pintu masuk kantor TNBTS pos Ranu Pani, udara dingin menusuk sampai tulang rusuk. . .
ditempat yang berketinggian 2200mdpl trsbut telah sampai beberapa pendaki mendahului kami. Tak ingin byk memakan wktu, ketua rombongan. Bang Aris lgsung daftar ulang k "Ranger" TNBTS, dan memeriksa kembali seluruh bekal&peralatan.

beberapa biskuit & segelas teh panas rasanya sudah cukup untuk mengisi perut yg mulai protez karna merasa dianaktirikan.

Sibuk packing membuat wktu tak terasa telah menunjukan pukul 21.00, kami harus cepat "nanjak" jika tak mau tiba di Ranu Kumbolo pagi hari & tak mendapatkan waktu tidur.

Tak lama nanjak, setelah masuk portal 3. Terdengar teriakan temen-temen Malang&Jombang yang salah jalur. .

Jalur pendakian dari RanuPani-RanuKumbolo landai & penuh Bonus. Namun carrier yg super berat membuat perjalan sangat menguras byk tenaga. Karena itulah di shelter3 ketua rombongan kami sempat tidur cukup lama& para pengikut sempat protes karna udara super dingin perlahan masuk melalui celah pori-pori.

Pukul 03.00 tulisan "SELAMAT DATANG DI RANUKUMBOLO" menyambut para pendaki di danau yg berketinggian 2.400mdpl, sekitar 20tenda telah berdiri d bibir danau tersebut.

Setelah melipir&mengitari pinggir danau, sampailah d tempat strategis untuk mendirikan tenda.

Mendirikan tenda dah kelar, saatnya tidur memulihkan tenaga walaupun perut kosong. pukul 05.15 suara ddiluar tenda membangunkanQ dari tidur nyenyak(mungkin karena kecapekan). kubuka pintu tenda, cahaya sunrise mengintip dari celah bukit, ranukumbolo dipagi hari sungguh sangat indah..seperti keluar asap dari permukaan danau. tak mau kehilangan momen berharga, kupencet tombol on pada kamera, pencet autofous dan mengambil bebrapa gambar....

setelah perut terisi dengan nasi yang setengah matang, packing pun beres. pada pukul 10.00 kami melanjutkan perjalanan menuju kalimati. namun sial . carrierQ semakin berat. apalagi masih harus membawa sepatunya bang ipul.. tanjakan cinta sudah didepan mata..

tanjakan cinta adalah tanjakan selepas Ranu Kumbolo, mitosnya jika kita dapat melewaati tanjakan cinta tanpa menoleh kebelakang. bagi yang telah mempunyai pasangan, maka akan langgeng. dan jika belum mempunyai pasangan maka akan segera mempunyai pasangan.

tapi saya saendiri menoleh kebelakang, karna tak tahan untuk melihat si cantik RanuKumbolo, juga karen tanjakanya MANTAPPPPPP!!!!!.

oro-oro Ombo, padang rumput seluas 100Ha. oro-oro ombo dikelilingi bukit dan gunung dengan pemandangan yang sangat indah, padang rumput luas dengan lereng yang ditumbuhi pohon pinus seperti di Eropa. padang rumput ini mirip mangkuk dengan hamparan rumput berwarna kekuningan. namun sayang sebagian dari oro-oro ombo terbakar ato memang sengaja dibakar oleh orang-orang tak punya rasa cinta pada alam.

sangat tak nyaman memang membawa barang bawaan diluar carrier, sangat mengganggu pergerakan...fiuh.. selepas oro-oro ombo adalah hutan cemoro Kandang. disini juga kondisinya sangat memprihatinkan. hampir seperempat hutanya terbakar oleh gansanya si Jago Merah....

menurut yang ku baca di buku "5cm" hutan ini cukup membingungkan. namun ternyata tidak juga.. jalur terlihat jelas.. yya mungkin karena perjalanan dilakukan pada siang hari jadinya jalurnya tak begitu membingungkan...

sebelum sampai di daerah jambangan kami sempat beristirahat di tempat yang lumayan teduh. keeanakan duduk dan memejamkan mata, bangun-bangun ternyata sudah tidak ada rombongan lain. cuma tinggal kami ber3 aja.. .

dengan mata yang masih berat, perjalan dilanjutkan menuju Jambangan, ternyata tak membutuhkan waktu yang luma untuk mencapai Pondok jambangan. dari sini kita sudah
dapat melihat dengan jelas puncak Mahameru yang sesekali "batuk".. kembali istirahat(kita memang kelompok yang sangat sering istirahat, mungkin karena kami cuma ber3 akibatnya barang bawaan kami cukup banyak&berat), sambil mengabadikan memen, ketemu ama arek Surabaya(entah siapa namanya, lupa berkenalan), malah becanda2 & ketawa bareng, sak ikhlase sikile seng mlaku yo pak....

sekitar pukul 16.30 tiba di pos Kalimati yang berketinggian 3200Mdpl(menurut tulisan di posko Kalimati, tapi kalo di Kaos Souvenir tingginya 2800Mdpl). . . langsung disuruh ama ketua rombongan untuk ngambil air di "Sumbermani". barengan ama arek Surabaya lagi,,, saya kira Sumbermani dekat dengan Kalimati.. ee ternyata cukup jauh, sekitar 20 menitan lah. untung aja barengan ama beberapa orang. kalo engga mungkin saya sudah kesasar karenA jalurnya juga lumayan membingungkan.

di Sumbermani terdapat 2 sumber air, air berasal dari rembesan dinding bukit. disini saya jumpai sesaji. mungkin tempat ini merupakan tempat keramat. airnya dingin sekali, melebihi Es yang di ambil dari Kutub... brrrrrrrrr...

pukul 17.30 setelah sembahyang duhur&ashar perjalanan dilanjutkan menuju Arcopodo(shelter terakhir untuk summit attack). sempat dihadang oleh Ranger TNBTS terkait masalah perijinan menuju puncak. untung saja kami bertemu dengan bang Komsi, mas Novan& pak Budi yang dengan sukarela mengikutkan kami dalam rombonganya yang telah mengantongi ijin untuk mencapai puncak. memang penjagaan tahun ini lebih ketat dibandingkan tahun sebelumnya, ini dikarenakan beberapa waktu lalu ada pendaki UGM yang hilang dan ditemukan tidak bernyawa di Jurang Blank 75.

jalur Kalimati-Arcopo sangat menanjak, sangat berat. tidak mungin kami ber3 dapat mengimbangi rombongan bang Komsi yang jalanya seperti kuda. cepet banget. fuih.

pukul 21.00 sampai di Arcopodo, hampir seluruh lahan telah terisi oleh Tenda-tenda pendaki. untung aja masih ada sepetak lahan untuk mendirikan tenda sewaan dari GACILA(Garuda Pencinta Alam, ijin minjem buat ke ungaran aja. tapi ternyata buat ke Semeru, maaf Pak Imam saya telah membohongi anda). tenda udah berdiri kini waktunya tidur, biarlah mas novan&pak budi yang baik hati memasakkan buat kami.

tidur sekejap dibangunkan untuk mengisi perut, menu kali ini cukup menarik. yaitu nasi+mi kuah+telor ceplok+nugget....yummmy...untuk menu minumnya gak tau namanya apa. yang jelas rasanya speri kopi nescafe dicampur dengan susu bendera coklat dan diberi sedikit gula ....nikmatnya.....teringat deh gw dengan lagunya dewa yang "MAHAMERU"...yang potongan syairnya "menjalin persahabatan dalam hangatnya tenda"

tidur..tidur.......pukul 00.00 bangun, persiapan summit attack...............



bersambung................
Selengkapnya...

Wednesday, June 10, 2009

GUNUNG ARJUNA


JALUR TRETES

Secara administratif Gunung Arjuna-Welirang masuk dalam wilayah Kabupaten Malang, Pasuruan dan Mojokerto. Dua gunung kembar yang saling bertetangga ini membentang pada bagian tenggara hingga barat laut Propinsi Jawa Timur. Pada bagian dataran tertinggi di ketinggian 2447 Mdpl, tampak membentuk puncak Ringgit. Gunung api tua ini terletak disisi kiri lembah kidang (jalur pendakian tretes). Ada pula puncak G. Lintjing yang berada di ketinggian 2227 Mdpl. Gunung kembar I yang berketinggian 3051 Mdpl, berada di sebelah jalur pendakian via tretes. Gunung kembar II yang berada di ketinggian 3126 Mdpl, puncaknya terletak di sebelah selatan Gunung Kembar I.

Untuk menuju Tretes dari Pandaan dapat ditempuh dari Surabaya selama 45 menit via tol ataupun dari Kota Malang yang memerlukan waktu 60 menit, dengan jarak 70 km. dari Pandaan perjalanan dilanjutkan menuju Tretes dengan menggunakan angkutan desa bertarif Rp 4.000,00. Jalanan beraspal menanjak akan dapat disaksikan pendaki dari balik jendela angkutan. Tampak berdiri gagah Gunung Penanggungan di sisi kanan yang mirip dengan puncak Mahameru. Perjalanan ini membutuhkan waktu 45 menit.

Tretes merupakan daerah wisata yang terkenal dengan air terjun Kakek Bodho-nya, yang berada di ketinggian 865 Mdpl. Tidak jauh dari air terjun terdapat pula jalur Kakek Bodho menuju puncak Arjuna-Welirang dengan medan yang cukup berat sehingga jarang dilalui pendaki. Sedangkan jalur Tretes merupakan jalur yang paling aman dan cukup landai sepanjang 20 km ke puncak Arjuna dan 18 km ke puncak Welirang. Jlaur ini dikatakan cukup aman karena setiap hari selalu ramai oleh lalu lintas para penambang belerang di Gunung Welirang. Hal ini membuat jalur menjadi cukup jelas.

Setelah beres mengurus perizinan di pos PHPA Tretes, pendakian dapat dimulai menuju Pet Bocor. Lintasan menuju ke sana berbatu dengan medan cukup landai dan jelas. Waktu tempuhnya 20 menit.

Pet Bocor adalah sebuah area cukup landai yang terdapat sebuah pet-pipa yang memuncratkan air dengan cukup deras. Sehingga dapat digunakan sebagai segala keperluan pendaki. Di area ini juga terdapat sebuah warung yang buka pada hari-hari tertentu. Selepas Pet Bocor lintasan tetap berbatu dan landai di tengah hutan yang mulai gundul dan diselingi padang ilalang. Setelah punggungan Gunung Limas yang berada di ketinggian 1440 mdpl di sisi kiri lintasan, pendaki akan tiba di kokopan. Waktu tempuh menuju kokopan 3-4 jam.

Kokopan merupakan sebuah dataran yang berada di ketinggian 1600 mdpl.sebuah daerah yang kondusif untuk mendirikan tenda & terdapat sebuah warung. Di sini pendaki dapat menemui sumber air bersih yang ditampung di bak-bak besar. Di sini juga terdapat sebuah WC untuk keperluan buang air. Tepat di bawah kokopan terdapat sebuah makam, yaitu makam Syekh Maulana Magrhribi yang telah dibangun 2 gubug untuk kepentingan para peziarah. Selepas kokopan medan mulai menanjak dan memasuki vegetasi yang didominasi oleh padang rumput. Sepanjang lintasan terbuka ini pemandangan cukup indah. Tampak kerlap-kerlip kota yang berada di bawah kaki gunung. Setelah melewati 3 punggungan pada sisi kiri lintasan, pendaki akan kembali memasuki kawasan hutan pinus yang landai, suatu pertanda bahwa pendaki akan tiba di pondokan. Perjalanan menuju Pondokan membutuhkan waktu 3-4 jam.
Pondokan merupakan sebuah jalur persimpangan yang berada di ketinggian 2250 mdpl. Yang ke kiri menuju puncak Arjuna, sedangkan yang ke kanan menuju puncak Welirang. Daerah ini dinamakan pondokan karena banyak terdapat pondok para penambang belerang, kira-kira 15 buah. Disini juga terdapat sumber air bersih yang berada di sebelah kanan pondokan yang telah di tampung dalam sebuah bak.

Untuk menuju puncak Arjuna, pendaki dapat mengambil jalur kiri di depan musahala pondokan. Dari sini ke Lembah Kidang membutuhkan waktu 30 menit. Lintasanya landai dan di kelilingi rerumputan rimbun dan pepohonan Pinus. Dari sini hingga puncak Arjuna, lintasan sudah tidak berbatu.

Lembah Kidang berada di ketinggian 2300 mdpl dan masuk ke dalam wilayah hutam lindung Lali Jiwo yang terkenal rimbun dan keramat, disarankan untuk tidak ngecamp disini karena tempat ini cukup angker. Hutan Lindung Lali Jiwo emmpunyai luas 50.000 ha. Dari area ini pendaki sudah dapat menyaksikan kegagahan puncak Arjuan yang berdiri gagh diselingi kabut. Di sini terdapat mata air yang tertampung di dalam bak. Pada sore hari pendaki dapat

menyaksikan hewan-hewan penghuni Lali Jiwo yang mampir minum di area ini sebelum kembali ke perduanya. Lintasan menuju puncak Arjuna mulai mulai menanjak ketika pendaki sampai di sebuah tempat yang bernama Lembah Babi. Bebrapa puluh menit kemudian pendaki akan tiba di sebuah persimpangan, yakni bertemunya jalur ini dengan jalur yang menghubungkan ke puncak Welirang via Gunung Kembar I dan II.

Setelah memasuki vegetasi padang ilalang, pendaki akan menemui sebuah puncak semu yang salah satunya bernama Pasar Dieng yang ketinggianya hamper sama dengan puncak Arjuna, di sini terdapat beberapa in memoriam pendaki yang menghembuskan nafas terakhirnya di Gunung Arjuna. Kira-kira 10 menit kemudian, pendaki akan tiba di titik triangulasi tertinggi puncak Arjuna 3339 mdpl yang terdapat banyak tumpukan batu. Dari sini pendaki dapat menyaksikan indahnya daerah-daerah yang berserakan di bawah sana seperti Malang, Surabaya, Pasuruan, dan kegagahan puncak Mahameru serta kerlap-kerlip lampu kapal yang berada di utara pulau Jawa.


Pengalaman mendaki G. Arjuna :

“lost in lali jiwo” setelah turun dari puncak ogal-agil (sebutan puncak Arjuna) mas Arif & bang Ipul pisah dari rombongan (jumlah rombongan 5 orang). Kami bertiga sampai di pondokan setelah waktu isya’ magrib tiba, menunggu dan menunggu kedua teman kami tak kunjung datang. Dengan perasaan gelisah dan was bang ajiz berbaik hati memasak untuk tim, menyiapkan hidangan kalau2 dua orang yang kami tunggu datang dan butuh supplay makanan.
Jam sudah menunjukkan pukul 22.00 sosok mereka tak kunjung datang, lebih baik tidur dan istirahat untuk mengembalikan tenaga. Matahari telah menghangatkan suasana di pondokan pagi itu, dan diluar tenda terlihat ada tenda yang mirip punyanya mas Arif tenda eiger lounger warna orange. Saya bersama bang ajis terus mengamati tenda tersebut dan akhirnya muncullah sesosok manusia dengan rambut gondrong...wahhhhhhh...ternyata dugaan kita salah.. tak lama setelah itu bangIpul & mas Arif muncul dengan penuh senyum & tawa, walupun mereka habis tersesat di Lali Jiwo. Bukan tanpa alasan mereka tersenyum, karena semalam mereka dijamu oleh arek-arek Malang dan diantar sampai Lembah Kidang......waaaaaaah Asem ig.........





Selengkapnya...

Satwa Langka Gunung Muria Terancam Punah


Gunung Muria, 18 kilometer utara kota kudus. Memiliki kekayaan alam yang tidak sedikit, sebenarnya cukup banyak jenisnya namun diduga aneka jenis flora & fauna Gunung setinggi 1602 mdpl tersebut terancam punah.

Adapun kekayaan Gunung Muria yang dicatat oleh perum perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Pati, antara lain berupa sekitar 80 jenis pohon, palem-paleman dan rumput-rumputan.
Juga jenis pohon hasil penanaman, seperti mahoni (Swetenia mahagony) yang ditanam tahun 1942, tusam (pinus merkusii) yang ditanam tahun 1944, sengon (Albizza falcate) yang ditanam sporadis, Eucalyptus deglupa, dan kopi yang mulai ditanam tahun 1942.
Dari sisi fauna, dijumpai paling tidak lima jenis ular senduk (kobra jawa), sanca hijau, welang, weling, kera, landak, tupai, trenggiling, babi hutan, musang, ayam hutan, kijang, macan tutul, burung trucuk, kutilang, kacer kembang, lutung, cucak hijau, cucak kembang, ledekan, elang, rangkong, plontang tekukur, gelatik, kuntul,, prenjak, perkutut, ciblek, burung madu, truntung, pelatuk bawang, branjangan, burung hantu, dan brubut. Jenis burung masih banyak lagi.
Namun saat ini, yang masih sering kita lihat adalah bebrapa jenis burung dan 2 eor burung Elang yang menghiasi langit Muria.
Kawasan Gunung Muria ditetapkan sebagai hutan lindung berdasarkan surat keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda Nomor 34, tangggal 24 Juni 1916 di Bogor (Jawa Barat).
Kawasan memiliki banyak puncak gunung, diantaranya adalah puncak Songolikur, puncak Argopiloso, puncak Argojembangan dan puncak Saptorenggo.
Adapun jenis tanah Gunung Muria berdasarkan peta tanah hijau TWG Dames tahun 1955, terdiri dari andasol dan laktosal coklat dan merah. Iklimnya, menurut Schmidt & Ferguson, termasuk tipe A dan tipe B yang dipenuhi angin Muson Barat dan angin Muson Timur, serta rata-rata curah hujan 2.494 milimeter per tahun.
Meskipun banyak kekayaan Gunung Muria yang mulai punah, sisa kekayaan yang berupa masjid & makam Sunan Muria, air tiga rasa di dukuh Rejenu, air terjun montel, wisata “kejawen” di puncak songolikur di Desa Rahtawu masih tetap ramai dikunjungi masyarakat. Apalagi sekarang di kawasan Colo telah dibangun sarana & prasarana yang lebih nyaman daripada dua atau tiga tahun sebelumnya. Seperti Graha Muria, Taman Ria Colo. Perjalanan menuju Air Tiga Rasa yang dulunya hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki sekarang dapat dilalu sepeda motor dengan jalan yang cukup mulus, namun pengendara harus tetap berhati-hati sebab sebelah kiri jalan adalah jurang.

Selengkapnya...

Sunday, June 7, 2009

GUNUNG SUMBING




Gunung Sumbing secara administrative masuk ke dalam wilayah kabupaten Wonosobo. Gunung ini adalah yang tertinggi kedua di Jawa Tengah setelah Gunung Selamet. Bentuk gunung Sumbing yang berketinggian 3371 mdpl ini serupa dengan gunung Sindoro di sebelahnya yang dipisahkan oleh jalan raya penghubung kota Temanggung dan Wonosobo . konon kedua gunung ini berasal dari sumber yang sama sebelum akhirnya terjadi erupsi yang hebat.
Gunung Sumbing adalah gunung tertinggi ke dua di Jawa Tengah dengan ketinggian mencapai3.371 meter di atas permukaan laut. Gunung ini berhadapan dengan Gn.Sundoro yang dikenal sebagai gunung kembar. Jalan menuju ke puncak pun terjal dan penuh liku. Sebuah petualangan yang sangat menarik dan menakjubkan.

Gunung Sumbing menjadi batas alam antara Kabupaten Banjarnegara, Temanggung, Magelang, dan Wonosobo.Seperti halnya gunung-gunung di Jawa lainnya, setiap tanggal 1 Suro (tahun baru Jawa) dan tanggal 21 Poso (bulan Jawa), sudah menjadi tradisi masyarakat setempat untuk melakukan jiarah ke puncak Gn. Sumbing. Di mana terdapat makan Ki Ageng Makukuh. Menurut kepercayaan penduduk setempat agar selamat dan terhindar dari mara bahaya, anak-anak dibiarkan berambut Gimbal. Masyarakat lereng Gn.Sumbing sangat menyukai kesenian tradisional seperti Kethoprak, Kuda Lumping atau Jathilan, kesenian ini sering dipentaskan di setiap desa.

Pendaki harus benar-benar menghormati kebiasaan penduduk lereng gunung Sumbing, banyak pantangan yang harus diperhatikan diantaranya tidak merusak tanaman, tidak mengganggu kebun penduduk, tidak membuang sampah, berhati-hati jika menyalakan api karena rawan kebakaran, berlaku sopan, tidak sombong, ramah bila berjumpa penduduk, tidak mengeluh, dan tidak buang air di sembarang tempat.

Sebaiknya pendaki tidak meletakkan barang-barang diluar tenda karena gunung Sumbing masih agak rawan. untuk itu sikap ramah, sopan dan penuh waspada para pendaki sangat diperlukan.

Gunung ini dapat didaki melalui dua rute yakni dari Base Camp Garung yang berada di desa Garung, kecamatan Kalikajar, kabupaten Wonosobo. Atau dari Base Camp Cepit, yang berada di desa Pagergunung, kecamatan Bulu, kabupaten Temanggung.

RUTE GARUNG

Sebenarnya jalur yang Anda tempuh untuk mencapai ke gunung ini sama dengan perjalanan menuju Gunung Sundoro. Dari Purwokerto naik bus besar jurusan Semarang, melewati Wonosobo, begitu juga sebaliknya. Kalau ke Gunung Sundoro Anda turun di desa Kledung, maka untuk mencapai Gunung Sumbing Anda harus turun di depan gapura desa Garung. Desa ini terletak di jalan menurun arah Wonosobo.
Berjalanlah sekitar 500 meter atau dapat juga naik ojek menuju ke Base Camp. Tidak lama, paling 15 menit berjalanan kaki. Di desa Garung/Butuh ini tidak ada losmen untuk bermalam. Namun, Anda bisa bermalam di rumah kepala desa, sekaligus mendapatkan informasi mengenai Gunung Sumbing. Alamat lengkap Base Camp Garung: STICK PALA ( Satuan Induk Bocah Bocah Karang Taruna Pecinta Alam ). Desa Butuh, Dusun Garung, Kecamatan Kalikajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.

Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai puncak sekitar 6-8 jam dengan menempuh jarak 7 km. Mulai dari Base Camp Anda sudah menemui lajur yang menanjak. Setelah tanjakan pertama Anda akan melewati kebun sayur, tetapi jalannya tetap menanjak.

Jalur lama udah jarang dipake karena terlalu terjal buat pendakian dan relatif kurang aman. KM IV dimulai dari Bosweisen (batas ladang dan hutan) Kondisi jalan tanah liat dan tanah merah berpasir, di kanan kiri jalur rerumputan dan pepohonan kecil. Perjalanan akan semakin menanjak melewati dua buah bukit yakni bukit Genus dan Sedlupak. Jalan berupa tanah merah berpasir. Kalau lagi beruntung, saat kita masuk hutan, kita bisa ketemu ama setan belanda yg konon badannya tinggi dan bentuknya sangat seram.

Jalur Baru Setelah melewati ladang pertanian sampailah di perbatasan hutan di kawasan Bosweisen (batas ladang dan hutan) yang merupakan batas KM III. Kondisi jalan berupa tanah liat dan tanah merah berpasir. Di sepanjang kawasan ini terdapat beberapa jenis burung dan ayam hutan.

Kemudian melewati hutan pinus, kalau beruntung, apabila naek malam hari kita bakalan ditemenin ama orang yang seusia dan berjenis kelamin sama dengan pakean putih. Kita bakal ditemenin kalau terpisah dari kelompok dan bakal ditemenin sampai gabung lagi sama kelompok. Tapi sayangnya, saat kita ajak ngobrol, dia tidak akan menjawab dan selalu diam.

Setelah menyeberangi sungai di Kedung terdapat Pos peristirahatan Pos I. Perjalanan selanjutnya kita akan sampai di Pos II (Gatakan) pada ketinggian 2.240 mdpl. Di pos ini pendaki dapat mendirikan tenda, dibandingkan tempat lain, tempat ini cukup terlindung dari hempasan angin kencang, disamping itu pendaki dapat mengambil air bersih dari sungai yang tidak terlalu jauh. Tempat ini terkenal keangkerannya, pendaki yang berkemah disini sering mendapat gangguan Sundel Bolong.

Di Pestan (Peken Setan/Pasar Setan) pada ketinggian 2.437 mdpl, terdapat tempat terbuka yang cukup luas, pendaki dapat mendirikan tenda untuk beristirahat. Konon pendaki akan mencium bau semerbak bunga, bila bau bunga ini mengikuti dia, maka ada sosok mahkluk halus yang membuntutinya. Di sini jalur lama dan jalur baru bertemu. Kawasan ini tidak ada pohonnya berupa padang rumput dengan sedikit pohon kecil, sehingga angin kencang sering menerpa tenda. Selain itu pendaki harus waspada karena sering ada badai yang cukup besar dan berbahaya. Kondisi jalan berupa tanah merah berpasir.

Selanjutnya kita sampai di Pasar Watu dimana banyak terdapat batu berserakan. Di depannya dinding batu berdiri. Jalur disini kelihatannya rawan soalnya bener-bener terbuka dengan kanan dan kiri jurang. Pendaki harus mengambil jalan kekiri sedikit menurun mengelilingi dinding batu terjal. Jangan mengambil jalan lurus dengan cara memanjat dinding terjal ini karena jalur ini buntu.

Dengan cara menelusuri sisi-sisi batuan terjal, Kemudian kita akan tiba di Watu Kotak (2.763mdpl) sebuah batu yang besar seperti kotak yang memiliki ceruk, dapat digunakan untuk berlindung dari tiupan angin dan hujan. Di tempat ini ada sedikit ruang untuk mendirikan tenda kecil. Di sini pendaki dilarang buang air di sembarang tempat, karena tempat ini adalah salah satu tempat yang keramat.

Selanjutnya kita akan melewati Tanah Putih, yang berupa batuan kapur. Jalur sangat berat, terjal dan berbatu-batu, sebaiknya berhati-hati karena batu-batu mudah jatuh menggelinding ke bawah baru kemudian sampai di puncak. Untuk menuju kawah ambil arah sebelah kanan sedangkan untuk menuju puncak lurus ke atas. Di puncak gunung terdapat musang gunung yang hidup di lubang-lubang batu di dinding kawah. Musang ini dengan berani mendekati pendaki untuk mencari sisa-sisa makanan.


RUTE GARUNG JARAK KETERANGAN
KM 1 Dari gapura desa garung ke basecamp, jalan kaki sekitar 15 menit atau naik ojeg
JALUR LAMA
KM 2 Kebun penduduk
KM 3 Kebun penduduk
KM 4 Pendakian akan melewati hutan pinus
KM 5 Melewati bukit Genus dan bukit Sedlupak, jalur sangat curam dan sangat berat
JALUR BARU
KM 2 Kebun penduduk
KM 3 Kebun penduduk
KM 4 Pendakian akan melewati hutan pinus, kemudian menyeberangi sebuah sungai di Kledung
KM 5 kemudian kita akan sampai di Shelter II di Gatakan dengan ketinggian 2240 mdpl
KM 6 Jalur lama dan jalur baru akan bertemu di Pestan, pendaki dapat beristirahat atau mendirikan tenda di sini. Di tempat ini tidak ada pepohonan
Pasar watu banyak sekali terdapat batu-batu berserakan.
Watu kotak, sebuah batu besar berbentuk kotak yang dapat digunakan untuk berlindung dari hempasan angin kencang atau hujan.
KM 7 Dari Watu Kotak menuju Tanah Putih kemudian menuju puncak, memerlukan waktu sekitar 1 jam dengan jalur yang sangat berat dan berbatu-batu. Untuk menuju kawah ambil arah sebelah kanan sedangkan untuk menuju puncak lurus ke atas.


RUTE CEPIT

Dari Yogya naik bus ke Magelang, disambung ke Temanggung, turun di Parakan. Perjalanan di mulai di Base Camp Cepit yang terletak di desa Pager Gunung, kec. Bulu, wilayah Temanggung, Jawa Tengah. Perjalanan terbaik dilakukan pada malam hari sekitar pukul 21.00, sampai di puncak menjelang pagi, sehingga sempat melihat Sunrise dari puncak gunung. Selain itu perjalanan di malam hari dapat menghemat air minum, karena di sepanjang jalur tidak terdapat mata air.
Pertama kali kita akan berjalan selama kurang lebih satu jam melewati kebun sayur penduduk. Kemudian kita akan mendaki sekitar dua jam memasuki kawasan hutan, selanjutnya kita akan sampai di padang rumput. Setelah itu kita akan bertemu dengan Batu Kasur dan Batu Lawang.

Jalur menuju puncak sangat sempit dan menanjak, sehingga sangat melelahkan, kita perlu sangat berhati-hati dan menjaga stamina tubuh. Puncak Gungung Sumbing berbentuk kaldera kecil yang bergaris tengah 800 meter, dengan kedalaman 50-100 m dan beberapa puncak yang runcing. Untuk menuju puncak tertinggi harus turun lagi ke arah kanan dan kemudian naik lagi.

Terdapat lautan pasir, terdapat juga makam leluhur masyarakat setempat yang dikenal dengan sebutan Ki Ageng Makukuhan. Ada beberapa gua salah satunya dikenal dengan nama Gua Jugil yang merupakan gua terbesar. Di kaldera banyak kawah kecil yang berasap belerang. Pemandangannya sangat indah sehingga kita akan merasa enggan untuk meninggalkan puncak tersebut.


RUTE CEPIT
1 Base Camp Cepit
2 Kebun penduduk Lama perjalanan sekitar 1 jam dari Base Camp
3 Kawasan hutan Lama perjalanan sekitar 2 jam
4 Padang rumput
5 Batu Kasur
6 Batu Lawang
7 Kaldera
8 Puncak puncak tertinggi harus turun lagi ke arah kanan dan kemudian naik lagi




Selengkapnya...

GUNUNG RAUNG


GUNUNG RAUNG

Gunung Raung adalah sebuah gunung yang terletak di ujung timur pulau Jawa. gunung dengan tinggi 3332 Mdpl ini mempunyai kaldera terbesar di pulau jawa, dengan kaldera sekitar 500 meter.G. Raung termasuk gunung tua dengan kaldera di puncaknya dan dikitari oleh banyak puncak kecil, Menurut catatan letusan terdahsyat terjadi pada tahun 1638. yang mengakibatkan banjir lahar pada kali Klatak dan Setail dan lebih dari 1000 jiwa melayang.Gunung strato volcano ini secara geografis terletak di Kabupaten Banyuwangi, Jember dan Bondowoso, secara astronomis etrletak pada 08° LU-07° LS dan 114° BB-021°BT.dari puncak Raung pendaki dapat melihat kaldera raksasa berbentuk elips yang dikitari oleh puncak-puncak kecil yang meruncing. pemandangan semakin indah ketikacuaca cerah, dimana pendaki dapat menyaksikan Gunung Suket dan Ijen yang berada pada sisi timur dan Pegunungan Hyang yang berada pada sisi barat.


Untuk mendaki G. Raung, paling mudah adalah dari arah Bondowoso. Dari Bondowoso terus menuju desa Sumber Wringin dengan angkutan bertarif Rp.4000. sampailah di basecamp G.raung yang sekaligus menjadi pos vulkanologi G.raung. Perjalanan diawali dari desa Sumber Wringin melalui kebun pinus dan perkebunan kopi menuju Pondok Motor atau Pos pendaki dimana kita dapat menjumpai seorang juru kunci yang bernama Pak Serani.namun jika tak ingin repot, kita bisa menyewa jasa ojek dengan tarif Rp.25000/orang dan Rp250.000/truk. Di Pondok Motor kita dapat menginap dan beristirahat, kemudian kita dapat melanjutkan perjalanan ke puncak yang membutuhkan waktu sekitar 9 jam.

Dari Pondok Motor ke G. Raung, kita akan melewati perkebunan kopi, hutan pinus, hutan cemara, terus sampai di dataran tempat dimana kita dapat berkemah. Perjalanan dilanjutkan melalui padang alang-alang (sekitar 1 jam perjalanan), selanjutnya menuju puncak Gunung Raung yang sedikit berpasir dan berbatu-batu. Dari tempat berkemah menuju puncak G. Raung, hanya diperlukan waktu sekitar 2 (dua) jam saja. Sedangkan perjalanan turun, memakan waktu sekitar 7 jam.

Puncak G. Raung ini berada pada ketinggian 3.332 m dari permukaan laut dan sering bertiup angin kencang. Sesungguhnya masih ada puncak yang lebih tinggi lagi, namun kita tidak dapat mendaki ke sana, sebab selain tidak ada jalan juga hutannya masih terlalu lebat.

Dalam perjalanan ke Puncak G. Raung, tidak ada mata air. Sebaiknya untuk air dipersiapkan di Sumber Wringin atau di Sumber Lekan. Untuk mendaki G. Raung tidak diperlukan ijin khusus, hanya saja kita perlu melaporkan diri ke aparat desa di Sumber Wringin.

--------------------------------------------------------------------------------------------------

MISTERI GUNUNG RAUNG

Keangkeran Gunung Raung sudah terlihat dari nama-nama pos pendakian yang ada, mulai dari Pondok Sumur, Pondok Demit, Pondok Mayit dan Pondok Angin. Semua itu mempunyai sejarah tersendiri hingga dinamakan demikian.

Pondok Sumur misalnya, katanya terdapat sebuah sumur yang biasa digunakan seorang pertapa sakti asal Gresik. Sumur dan pertapa itu dipercaya masih ada, hanya saja tak kasat mata. Di Pondok Sumur ini, saat berkemah,juga terdengar suara derap kaki kuda yang seakan melintas di belakang tenda.

Selanjutnya Pondok Demit, disinilah tempat aktivitas jual-beli para lelembut atau dikenal dengan Parset (Pasar Setan). Sehingga, padaMore… hari-hari tertentu akan terdengar keramaian pasar yang sering diiringi dengan alunan musik. Lokasi pasar setan terletak disebelah timur jalur, sebuah lembah dangkal yang hanya dipenuhi ilalang setinggi perut dan pohon perdu.

Pondok Mayit adalah pos yang sejarahnya paling menyeramkan, karena dulu pernah ditemukan sesosok mayat yang menggantung di sebuah pohon. Mayat itu adalah seorang bangsawan Belanda yang dibunuh oleh para pejuang saat itu.

Tak jauh dari Pondok Mayit, adalah Pondok Angin yang juga merupakan pondok terakhir atau base camp pendaki. Tempat ini menyajikan pemandangan yang memukau karena letaknya yang berada di puncak bukit, sehingga kita dapat menyaksikan pemandangan alam pegunungan yang ada disekitarnya. Gemerlapnya kota Bondowoso dan Situbondo serta sambaran kilat jika kota itu mendung, menjadi fenomena alam yang sangat luar biasa. Namun, angin bertiup sangat kencang dan seperti maraung-raung di pendengaran. Karenanya gunung ini dinamakan Raung, suara anginnya yang meraung di telinga terkadang dapat menghempaskan kita didasar jurang yang terjal.

Sebelah barat yang merupakan perbukitan terjal itu adalah lokasi kerajaan Macan Putih, singgasananya Pangeran Tawangulun. Di sini, juga sering terengar derap kaki suara kuda dari kereta kencana. Konon, pondok Angin ini merupakan pintu gerbang masuk kerajaan gaib itu.

Konon, di perbukitan yang mengelilingi kaldera itulah kerajaan Macan Putih berdiri. Sebuah kerajaan yang berdiri saat gunung ini meletus tahun 1638. Pusatnya terletak di puncak Gunung Raung. Kerajaan tersebut dipimpin oleh Pangeran Tawangulun. Beliau adalah salah-satu anak raja Kerajaan Majapahit yang hilang saat bertapa di gunung. Keberadaan kerajaan itu sedikit banyak masih memiliki hubungan yang erat dengan penduduk setempat. Misalnya bila terjadi upacara pernikahan di kerajaan, maka hewan-hewan di perkampungan banyak yang mati. Hewan-hewan itu dijadikan upeti bagi penguasa kerajaan.


Konon, menurut masyarakat setempat, seluruh isi dan penghuni kerajaan Macan Putih lenyap masuk ke alam gaib atau dikenal dengan istilah mukso. Dan hanya pada saat tertentu, tepatnya setiap malam jum’at kliwon, kerajaan itu kembali ke alam nyata.

Pangeran Tawangulun dipercaya merupakan salah satu suami dari Nyai Roro Kidul. Setiap malam jum’at itulah penguasa laut selatan mengunjungi suaminya. Biasanya, akan terdengar suara derap kaki kuda ditempat yang sakral. Suara tersebut berasal dari kereta kencana Sang Ratu yang sedang mengunjungi sang suami Pangeran Tawangulun. Bila mendengar suara tersebut lebih baik pura-pura tidak mendengar. Jika dipertegas, suara akan bertambah keras dan mungkin akan menampak wujudnya. Bila demikian, kemungkinan kita akan terbawa masuk ke alam gaib dan kemudian dijadikan abdi dalem kerajaan Macan Putih.

Selengkapnya...


Kerusakan Hutan Gunung Muria



Gunung Muria merupakan salah satu pegunungan yang sudah tua di negeri ini. Kawasan gunung Muria sendiri secara geografis terletak di 3 (tiga) wilayah kabupaten, yaitu Jepara, Kudus dan Pati. Selain itu juga terletak di bagian utara pulau Jawa, Jepara dikenal dengan ukirannya yang khas, Kudus sendiri merupakan kota industri terutama rokok, dan Pati sendiri merupakan penghasil kayu jati yang berkualitas nomor wahid.

Pada zaman VOC dan pemerintahan Hindia – Belanda kawasan Jepara dan sekitarnya merupakan daerah strategis sebagai wilayah pengembangan kota-kota pelabuhan dengan tujuan ekspor ke Eropa. Kondisi yang demikian strategis tersebut berimbas pada upaya pengembangan kawasan gunung Muria bagi usaha perkebunan ( tebu, kopi, randu dan lain sebagainya ) termasuk kehutanan, khususnya jati untuk mendukung sektor ekspor andalan pemerintah Hindia Belanda.

Ada tiga hal yang menjadikan pengelolaan kawasan gunung Muria menjadi penting untuk dikaji, yaitu pertama, kawasan Muria ini merupakan penyangga bagi kehidupan sosial – ekonomi maupun ekologi yang sangat penting sebagai urat nadi kehidupan industri di kabupaten Jepara, Pati dan khususnya Kudus yang jelas-jelas nyata, dengan aktivitas masyarakatnya yang lebih padat dibanding Jepara dan Pati; kedua, kawasan ini menyimpan situs-situs bersejarah dari zaman kerajaan Hindu dan Islam sebagai asal-usul peradaban Jawa; ketiga, kawasan Muria memiliki letak yang strategis di tengah pulau Jawa terutama di jalur pantai utara yang menjadi pusat pengembangan industri. Hal inilah yang mungkin melatarbelakangi rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir ( PLTN ) di gunung Muria, dengan kemungkinan nilai keuntungan proyeknya yang cukup menggiurkan bagi beberapa pihak, selebihnya mungkin merugikan bagi banyak pihak termasuk kawasan Muria, dimana pengelolaan dan pelestarian hutannya yang tergolong lebih mudah saja merugi dan rusak apalagi PLTN, mau jadi apa kawasan Muria untuk ke depannya.

Selain tiga hal yang menjadikan pengelolaan kawasan gunung Muria menjadi penting untuk dikaji seperti uraian di atas, ada hal lainnya yang juga sama pentingnya dimana kawasan Muria juga berfungsi sebagai penyangga untuk kelangsungan hidup ekosistem beserta lingkungan yang ada di dalamnya. Kelangsungan hidup ekosistem yang berupa kekayaan alam baik flora maupun fauna di gunung Muria, 18 kilometer utara kota Kudus, sebenarnya cukup banyak dan bervariasi. Namun diduga aneka jenis kekayaan gunung setinggi 1.602 meter di atas permukaan laut itu terancam punah akibat aktivitas manusia yang mengeksploitasinya secara tidak bertanggung jawab.

Menurut tata guna lahannya, sebagian besar kawasan Muria merupakan kawasan lindung terutama sebagai daerah tangkapan air ( catchment area ). Kawasan lindung ini terdiri dari : lahan Negara, yaitu kawasan hutan lindung, cagar alam, sesuai dengan surat keputusan yang telah ditetapkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda nomor 34, tanggal 24 Juni 1916 di Bogor ( Jawa Barat ). Selain itu juga sebagai hutan produksi dan perkebunan. Kemudian lahan milik, yaitu sawah, ladang, tegal, kebun campur dan hutan rakyat.

Dengan demikian secara faktual kawasan ini dikelola oleh rakyat dan pemerintah lewat kepanjangan tangan BUMN ( Perhutani dan PTPRT IX ). Dampak dari proses pergantian kekuasaan pada tahun 1998 salah satunya inilah yang menjadi pemicu penjarahan hutan dan lahan sebagaimana lazimnya terjadi di daerah-daerah lain termasuk Muria.Hampir sebagian besar kawasan, baik produksi maupun lindung, dijarah dan dikonversi menjadi ladang jagung, tebu, dan ketela pohon. Di kawasan Muria bagian utara, konversi hutan menjadi kebun singkong, cukup merajalela.

Hal itu juga kemudian dibenarkan oleh hasil wawancara saya dengan seorang warga, dimana dia mengatakan bahwa saat ini kondisi gunung Muria memang sangat memprihatinkan, banyak pohon ditebang untuk dijual kayunya dan lahannya digunakan untuk berladang, bersawah dan berkebun pada saat musimnya, namun jika musimnya sudah habis, lahannya dibiarkan begitu saja. Tidak hanya itu saja, fauna yang termasuk langka dan dilindungi negara pun ikut diburu oleh warga sekitarnya, misalnya rusa.

Sekedar diketahui, kawasan pengunungan Muria yang masuk ke dalam wilayah Kudus itu adalah 2.377,57 hektar. Saat ini yang mengalami kerusakan luasnya mencapai angka kurang lebih 1.249 hektar.

Kerusakan hutan di kawasan Muria bukan hanya akibat dari penjarahan, penebangan, persawahan, perladangan liar dari beberapa warga yang tidak bertanggung jawab tetapi juga karena semakin banyaknya lahan yang digunakan untuk daerah permukiman. Selain itu juga penambangan liar oleh sebagian masyarakatnya, misalnya di desa Rahtawu, kecamatan Gebog dimana terdapat pengambilan batu-batu dari lereng gunungnya yang sudah dilakukan sejak lama sehingga menyebabkan rawan longsor dan pepohonan yang masih ada di atasnya juga akan habis ditambah lagi semakin menyempitnya bahkan terancam hilangnya habitat fauna-fauna yang ada di dalamnya. Padahal kawasan Rahtawu termasuk ruang lingkup hutan lindung di kawasan Muria.

Masyarakatpun tampaknya belum sadar dan perhatian terhadap hal ini, dan belum mau belajar dari pengalaman, begitu juga oleh pemerintah daerahnya yang juga kurang memperhatikan dan melakukan pengawasan penuh terhadap aktivitas warganya yang merusak lingkungan, padahal setiap tahunnya beberapa daerah di kabupaten Kudus mengalami banjir seperti di kecamatan Jekulo, Mejobo, dan Undaan pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau akibat kerusakan kawasan Muria.




Selengkapnya...

MISTERI RAHTAWU


Wukir Rahtawu
oleh: Ki Sondong Mandali

Wukir Rahtawu merupakan gugus perbukitan Muria yang
berada di Kabupaten kudus. Jawa Tengah. Menurut
mitos, Wukir Rahtawu merupakan tempat pertapaan Resi
Manumayasa sampai kepada Begawan Abiyasa yang
merupakan leluhur Pandawa dan Korawa.

Menurut cerita
babad dan parwa, konon leluhur raja-raja Jawa
merupakan keturunan dinasti Bharata juga. Sebuah
misteri yang membingungkan, memang.

Di Rahtawu terdapat banyak "petilasan pertapaan" yang
diyakini dahulu kala memang benar-benar merupakan
tempat bertapanya "para suci" yang oleh penduduk
setempat disebut "Eyang". Diantaranya :


Eyang Sakri (Bathara Sakri), di Desa Rahtawu.


Eyang Pikulun Narada dan Bathara Guru, di Joggring
Salaka, dukuh Semliro, desa Rahtawu.


Eyang Abiyasa dan Eyang Palasara, di puncak gunung
"Abiyasa", ada yang menyebut "Sapta Arga".


Eyang Manik Manumayasa, Eyang Puntadewa, Eyang Nakula
Sadewa di lereng gunung "Sangalikur", di puncaknya
tempat pertapaan Eyang Sang Hyang Wenang (Wening) dan
sedikit ke bawah pertapaan Eyang Ismaya.


Eyang Sakutrem (Satrukem) di sendang di kaki gunung
"Sangalikur" sebelah timur.

Eyang Lokajaya (Guru Spirituil Kejawen Sunan Kalijaga,
menurut dongeng Lokajaya nama samaran Sunan Kalijaga
sebelum bertaubat), di Rahtawu.

Eyang Mada (Gajah Mada) dan Eyang (Romo) Suprapto,
berupa makam di dusun Semliro.

Semua "petilasan" (kecuali makam Eyang Mada) merupakan
"batu datar" yang diperkirakan sebagai tempat duduk
ketika bertapa (meditasi, semadi). Sayangnya, semua
petilasan tersebut telah dibuatkan bangunan dan dibuat
sedemikian rupa "sakral" dengan diberi bilik yang
tertutup dan dikunci. Pembukaan tutup dilakukan setiap
bulan Suro (Muharam) tanggal 1 s/d 10.

Di setiap petilasan dibuatkan suatu bilik khusus untuk
melakukan "ritual sesaji" dengan bunga dan pembakaran
dupa. Juga disediakan suatu ruangan cukup luas untuk
para pengunjung beristirahat dan menunggu giliran
untuk melakukan "ritual sesaji" maupun "ngalap berkah"
sambil tiduran dan ? kerokan.

Di Rahtawu pengaruh peradaban Hindu, Buddha dan Islam
tidak nampak jelas. Tidak ada jejak berupa bangunan
peribadatan (candi) Hindu dan Buddha. Bahkan tidak ada
arca maupun ornamen bangunan yang terbuat dari batu
berukir sebagaimana ditemukan di Dieng, Trowulan,
Lawu, dan tempat-tempat lainnya di Jawa. Bangunan
peribadatan berupa masjid ataupun langgar (mushalla)
merupakan bangunan baru buatan jaman ini. Maka
sesungguhnya mengundang suatu pemikiran, situs
peradaban apakah di Rahtawu tersebut ?

Meskipun semua "petilasan pertapaan" berkaitan dengan
nama-nama tokoh pewayangan (Mahabharata-Hindu), namun
di Rahtawu ditabukan untuk mengadakan pagelaran
wayang. Konon cerita para penduduk setempat, pernah
ada yang melanggar larangan tersebut, maka datang
bencana angin ribut yang menghancurkan rumah dan dukuh
yang mengadakan pagelaran wayang tersebut. Namun untuk
mendengarkan siaran wayang kulit dari pemancar radio,
kok tidak apa-apa.

Samar-samar terbersit pemahaman di benak penulis akan
kecerdikan dan ketegaran Jawa dalam berinteraksi
dengan berbagai peradaban pendatang di Rahtawu,
sebagai berikut :


Di puncak tertinggi (gunung "Sangalikur") adalah
"petilasan pertapaan Sang Hyang Wenang". Tempatnya
sepi kering tidak ada apa-apa alias suwung (tan kena
kinayangapa). Dibawahnya ada "petilasan pertapaan"
Resi Manik Manumayasa, Puntadewa (Darmakusuma), Nakula
Sadewa, dan Bathara Ismaya (Semar). Tokoh-tokoh
tersebut merupakan simbul personifikasi manusia
titisan dewa yang berwatak selalu menjalankan "laku
darma" pengabdian kepada Hyang Maha Agung. Atau
mengajarkan "laku-urip" yang religius. Bahkan Sang
Hyang Wenang merupakan salah satu nama dari sesembahan
(realitas tertinggi) Jawa. Bathara Ismaya merupakan
derivate (tajalli, emanasi) awal dari Sang Hyang
Wenang, menggambarkan cangkok atau emban (plasma kalau
diibaratkan pada sel hidup). Sedang Eyang Manik
Manuyasa kiranya merupakan nama lain dari Bathara
Manikmaya, yang juga merupakan derivate (tajalli,
emanasi) awal Sang Hyang Wenang, menggambarkan
kembang, permata atau wiji/benih (inti kalau
diibaratkan sel hidup). Sel hidup selalu terdiri dari
Inti dan Plasma yang tidak bisa dipisahkan. Demikian
pula kiranya konsep Jawa tentang "Urip" selalu terdiri
dari "Manikmaya" dan "Ismaya" yang juga tidak bisa
dipisahkan.

Puntadewa dan Nakula-Sadewa adalah tiga satria Pandawa
yang tidak pernah berperang. Puntadewa simbul
kesabaran, Nakula kecerdasan, dan Sadewa
kebijaksanaan. Bahkan kemudian dalam mitologi Jawa,
Sadewa adalah satria yang mampu meruwat Bethari Durga
yang serba jahat menjadi Bethari Uma yang welas-asih.
Petilasan ketiga satria Pandawa tersebut ditempatkan
di gunung "Sangalikur" dibawah Sang Hyang Wenang,
Bethara Manikmaya dan Bethara Ismaya, melambangkan
bahwa kesempurnaan manusia di hadapan Tuhan
(sesembahan) adalah kesadaran akan "sejatining urip",
yaitu yang merupakan gabungan Puntadewa (sabar),
Nakula (cerdik-pandai) dan Sadewa (arif bijaksana).


Puncak kedua di "gunung Abiyasa" merupakan "petilasan
pertapaan" Eyang Abiyasa dan Eyang Palasara. Keduanya
merupakan maharesi yang tertinggi "kawruhnya".
Tempatnya juga sepi kering tidak ada apa-apa. Bahkan
jalan menuju tempat itu hanya ada satu. Untuk naik dan
turun melalui jalan yang sama. Sepertinya menyiratkan
bahwa jalan menuju puncak ketinggian "harkat spirituil
manusia" yang bisa dicapai adalah sebagai Resi Abiyasa
dan Resi Palasara yang hidup sunyi sepi namun tidak
meninggalkan keramaian dunia. Palasara dan Abiyasa
konon merupakan leluhur Pandawa. Meskipun hidup
sebagai resi (pendeta), namun keduanya terlibat
langsung dengan realitas hiup manusia di dunia.
Diantaranya terlibat perkara seks dalam arti untuk
regenerasi (berketurunan) manusia. Menurut ceritanya
pula, keduanya tidak menempati "etika agama" dalam hal
bercinta-asmara. Dan lebih kepada naluri alamiah yang
terekayasa oleh kebutuhan. Palasara bercinta-asmara
dengan Dewi Lara Amis (Durgandini) di dalam perahu
oleh akibat dorongan nafsu birahi keduanya, hingga
lahir Abiyasa (baik) dan saudara-saudaranya (jahat).
Abiyasa pun melakukan cinta-asmara dengan janda
adiknya oleh kebutuhan Hastinapura akan generasi
penerus. Maka petilasan Palasara dan Abiyasa tidak
dalam satu gunung dengan Sang Hyang Wenang mengandung
maksud, bahwa sesungguhnya untuk mencapai
"kesempurnaan harkat kemanusiaan" bisa dicapai juga
dengan memenuhi darma sebagai manusia secara alamiah,
meskipun darma tersebut mungkin kurang sejalan dengan
"norma kesusilaan" dan "etika keagamaan".

Petilasan Eyang Sakri, Eyang Sakutrem berada di kaki
gunung yang rendah. Keduanya juga maharesi leluhur
Pandawa. Petilasan pertapaannya berada dekat dengan
mata air (sendang), artinya lebih dekat berderajat
manusia katimbang dewa.

Petilasan Bathara Narada dan Bathara Guru di Joggring
Salaka (kahyangan para dewa) yang juga berada di kaki
gunung seolah menyiratkan pandangan Jawa, bahwa
sesungguhnya dewa-dewa juga titah dari Yang Maha Kuasa
sama dengan manusia. Dewa juga mempunyai kewajiban
ikut terlibat dalam mengatur keharmonisan semesta
(memayu hayuning bawana). Artinya, di Jawa, Bathara
Guru dan Bathara Narada bukan wajib disembah tetapi
disetarakan dengan manusia.

Begitulah penangkapan samar-samar penulis tentang
adanya petilasan pertapaan para Eyang (Hyang) di
Rahtawu. Untuk petilasan Eyang Lokajaya dan Makam
Eyang Mada, adalah suatu "punden" baru yang tidak ada
hubungannya dengan "petilasan pertapaan" paya Hyang
dan Resi.

Adapun bagaimana sejarah Rahtawu masih merupakan
misteri. Siapa pula yang menetapkan daerah itu menjadi
petilasan pertapaan, juga masih sulit untuk didapatkan
keterangan. Yang jelas sudah sejak jaman kuno Rahtawu
dianggap sebagai tempat petilasan pertapaan "para
suci". Mungkin dulunya mirip "Sungai Gangga" di India.
Atau semua itu adalah rekayasa para leluhur Jawa untuk
lebih meyakinkan bahwa yang menciptakan Mahabharata,
Resi Wiyasa, adalah Abiyasa yang tinggalnya di
Rahtawu, Jepara. Entahlah !

Kenyataan yang ada sekarang ini, Rahtawu menjadi
tempat untuk kepentingan "ngalap berkah" yang
bermacam-macam. Caranya juga bermacam-macam pula.
Nuansa spirituil religius Jawa sudah berbaur dengan
laku-budaya adat yang oleh berbagai pihak dianggap
klenik, tahayul dan syirik.

Perbukitan Muria memerlukan kajian mendalam. Ilmiah
maupun spirituil untuk menguak misterinya. Di tempat
itu juga ada makam Sunan Muria (salah satu Wali Sanga)
yang dikeramatkan pula oleh banyak orang Jawa yang
muslim. Maka dengan demikian di Muria ada dua tempat
wisata spirituil, Makam Sunan Muria (Islam) dan
Petilasan Pertapaan Rahtawu (Kejawen). Menurut yang
"muslim saleh", menyatakan bahwa Rahtawu tempat
berkumpulnya jin dan syaiton. Sebaliknya, kalangan
"kejawen" menyatakan kalau makam Eyang Mada dan makam
keramat lainnya (sesakti apapun yang dimakamkan) cuma
kuburan manusia biasa. Lhoh kok !

Begitulah kenyataan pergulatan antar peradaban di Jawa
baru mencapai tahap saling menganggap klenik, tahayul
dan syirik bagi pihak yang tidak sealiran. Memelas !

Demikian, semoga bermanfaat.

Ki Sondong Mandali



Selengkapnya...